Irawati Durban

Tumbuh Kembang

TARI KLASIK

SUNDA

TARI SUNDA KLASIK MASA KINI

YANG TERSEOK-SEOK

Oleh: Irawati Durban

Bila melihat kondisi tari klasik Sunda dewasa ini, sangatlah memperihatinkan karena sudah dilupakan orang. Tak pernah ada yang menanggapnya lagi karena dianggap tidak cocok dengan jaman sekarang.  Sekarang ini, tari klasik Sunda hanya hidup dan diajarkan di lembaga formal pendidikan tari seperti UPI, SMKN 10 dan ISBI Bandung, sebagai materi pelajaran yang diujikan. Selain itu, sanggar tari klasik seperti Setialuyu, Studio Tari Indra dan di Pusbitari, masih dengan setia memelihara dan mengembangkan tari klasik tersebut. Keadaan ini sangat kontras dengan kondisi tari klasik di Jawa (Yogya Solo), dimana raja sebagai penguasa tertinggi, tetap memelihara dan mengembangkan tari klasiknya dengan baik. Banyak tarian yang dipertunjukkan di keraton dalam berbagai acara, maupun sebagai flash mob di jalan raya.

Namun demikian kita masih tetap dapat berbangga, karena tari Sunda klasik dahulu pernah mengungguli kehadiran dan popularitas tari Jawa dan Bali antara tahun 1940-an sampai 1960-an. Yaitu melalui munculnya tari Sunda yang dilahirkan oleh TB. Oemay Martakusuma/Oemay (1892-1992) dengan penata tari Rd. Tjetje Somantri/Tjetje (1891-1963) di dalam wadah Badan Kesenian Indonesia (BKI), 1948-1958, dan perkumpulan Tjetje: Rinenggasari hingga 1965. 

APAKAH ADA TARI SUNDA YANG DAPAT DISEBUT

TARI KLASIK?

Budayawan Jawa menyebut kehadiran tarian BKI karya Oemay dan RTS sebagai tari ‘semi klasik’, mengapa demikian? Mungkin ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, karena istilah bagi bentuk tarian yang ada di masa feodal ketika raja-2 sangat berkuasa, hanya ada dua jenis,  yaitu tari rakyat dan tari klasik. Tari rakyat adalah tarian yang hidup di kalangan rakyat, dan tari klasik adalah tarian yang hidup dikalangan bangsawan.

Di masa itu Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram. Para bupati Sunda harus mempelajari budaya Jawa dan bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Dalam upaya untuk meningkatkan statusnya agar berbudaya halus seperti Mataram, maka tari Bedoyo dan Serimpi  dianggap pula perlu untuk dipelajari dan dipergelarkan oleh keluarga bangsawan Priangan.  Maka melalui latar belakang pergaulan budaya seperti ini, budayawan Jawa melihat dan mengenal ada ciri dan kesamaan pada tarian Sunda yang ada pada kesenian mereka, namun penampilannya sungguh berbeda. Adapun ciri ke’klasik’annya pun masih sangat kuat, yaitu:

  1. Pencipta tarian, pembuat kostum dan penarinya adalah kalangan bangsawan terpelajar.
  2. Kesopanan dan tatakrama dalam tarian, sangat terjaga dengan adanya gerakan tari sembah dan adanya watak tarian yang halus, sedang dan gagah.
  3. Unsur-unsur seni gerak, iringan tari, kostum dan riasnya pun, sesuai dengan kaidah pada tari klasik di Jawa.
  4. Tariannya nampak masih berakar kuat pada tari Sunda yang ada di kalangan bangsawan. Penampilannya saja yang banyak berunsur baru, seperti bahan dan warna kostum yang cerah, pola lantai yang dinamis, serta pilihan lagu pengiring dengan wiletan yang pendek.
  1. Pencipta tarian, pembuat kostum dan penarinya adalah kalangan bangsawan terpelajar.
  2. Kesopanan dan tatakrama dalam tarian, sangat terjaga dengan adanya gerakan tari sembah dan adanya watak tarian yang halus, sedang dan gagah.
  3. Unsur-unsur seni gerak, iringan tari, kostum dan riasnya pun, sesuai dengan kaidah pada tari klasik di Jawa.
  4. Tariannya nampak masih berakar kuat pada tari Sunda yang ada di kalangan bangsawan. Penampilannya saja yang banyak berunsur baru, seperti bahan dan warna kostum yang cerah, pola lantai yang dinamis, serta pilihan lagu pengiring dengan wiletan yang pendek.

Itulah alasannya maka Mr. Wongsonegoro, Menteri PP&K tahun 1951-1952, menyebutkan bahwa  tari Sunda yang ditontonnya tersebut sebagai ‘tari semi klasik’ atau  setengah klasik. Alasannya tentulah karena usia tari Sunda ketika itu masih muda, baru dibuat tahun 1940-an dan kriteria penyebutan tari sebagai ‘tari klasik’ ialah bila tari itu telah berusia lebih dari 50 tahun.

Bagaimana pertimbangan istilah ‘semi klasik’ itu dapat diterapkan? Alasannya ada pada kesempatan ketika para budayawan Jawa mulai mengenal tari klasik Sunda melalui tiga peristiwa, yaitu di tahun 1933, 1951 dan 1953.

Pada “Perayaan 200th Kraton Surakarta Adiningrat” 1933, Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V mengirimkan rombongan tari dan sandiwara Ciung Wanara dari perkumpulan Sekar Pakuan yang dipimpin oleh Oemay. Pada kesempatan ini, Tjetje yang dikatakan oleh Oemay sebagai penari yang luar biasa bagus, turut menari. Pertunjukan ini dikagumi Susuhunan Paku Buwono X beserta jajarannya, dan ketua panitia perayaan yaitu Mr. Wongsonegoro pun menghadiahi piala perak. Di koran, komentar kekaguman atas pertunjukkan yang disebut ‘sangat bagus’ itu diulas panjang lebar oleh Ki Hajar Dewantara, pendiri sekolah Taman Siswa.

Selanjutnya setelah kemerdekaan, pertemuan dengan budaya Jawa  berlangsung dua kali, yaitu pada “Pergelaran Tari Tiga Daerah: Solo Yogya Bandung” di Yogya 1951 dan di Gedung Kesenian Jakarta 1953. Pada kedua acara tersebut, Oemay membawa rombongan Badan Kesenian Indonesia (BKI) dan mempertunjukkan tari karya Tjetje, sandiwara Nyi Sangkana dan sandiwara Komala Gilang Kusumah.

Dari kedua pergelaran itu, komentar budayawan Jawa menyebut bahwa: “Pasundan ada di atas”. Kepala Kesenian Pusat Indro Sugondo menyebutkan: ”… Saudara-2 dari Bandung telah mempertunjukkan tariannya kepada kita, yang sungguh  di luar dari dugaan kita semula, … Karena itu kita harus sungguh-sungguh meningkatkan seni tari kita (Yogya, Solo) supaya tidak ketinggalan…”.

Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) Mr. Wongsonegoro pun cemas melihat kesenian  Jawa sudah tertinggal jauh oleh Jawa Barat. Oleh karena itu beliau memerintahkan supaya di Konservatori Karawitan (KOKAR) harus diadakan Cabang Tari. Selain hal tersebut,  penghargaan kepada rombongan BKI yang begitu besar, dapat dilihat dari kedatangan Menteri PP&K ke tempat rombongan Sunda menginap di Pegangsaan Timur untuk memuji tarian, kelancaran sandiwara dan juga semua kostumnya yang sangat menarik.

Kita patut berbangga ketika itu, karena pada kedua pentas bersama itu, tari Sunda selalu mendapat pujian yang mendapat predikat “Pasundan ada di Atas”. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya tarian BKI mendapat kepercayaan Presiden Soekarno untuk tampil di Istana Negara dan di berbagai acara bergengsi, baik di dalam maupun di luar negeri sejak 1952-1965. Dari 20 Misi Kesenian Indonesia yang dikirim Presiden Soekarno ke berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia yang baru berdiri tersebut, tarian BKI diikut sertakan dalam 14 misi kesenian.

Presiden Soekarno bersama para penari BKI yang menarikan Sulintang dan Sri Gati tahun1957

PENGERTIAN ISTILAH

'KLASIK'

Sebelum beranjak lebih jauh, marilah kita meneliti dahulu apa itu istilah ‘klasik’. Istilah ‘klasik’ diawali di Eropa sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Dalam dunia tari, istilah tari klasik mulai diterapkan pada balet yang berkembang pesat di Perancis oleh penari dan pecandu baletnya sendiri, yaitu: Raja Louis XIV yang mendirikan l’Academie Royal de la Danse pada 1661. Di sinilah istilah balet disebut sebagai ‘balet klasik’ yang ditonton oleh orang-orang yang ‘berkelas’ di gedung pertunjukan yang indah dan mewah. Para penontonnya tentu saja para bangsawan yang terpelajar dan berselera baik, serta mampu mengapresiasi karya yang bermutu tinggi.

Adapun pengertian dari kata ‘klasik’ sendiri, dalam The Encyclopedia Americana Vol. 7, secara singkat dapat dijelaskan bahwa: dalam ranah hukum Romawi, ‘classicus’ adalah sekelompok orang yang mampu membayar pajak tertinggi, kelompok kelas yang mengandung nilai ‘unggul dan keunggulan’.

Dalam bidang seni, paham seni klasik atau ‘classicism’, berkaitan dengan nilai dari kualitas yang bermutu prima, keberlanjutan, dengan tata nilai Yunani yang menekankan keteraturan, pola pikir sederhana yang jernih, seimbang dengan struktur yang proporsional, serta kesatuan bentuk yang tepat.  Dengan demikian,  persamaan istilah keklasikannya dalam tari  ialah, bila mutu teknik tarinya tinggi dan terurai dalam perbendaharaan teknik tari yang dapat dikuasai melalui latihan yang panjang.

TARIAN KARYA RD. TJETJE SOMANTRI ADALAH

'TARI KLASIK' ATAU TARI KREASI?

Pada hakekatnya, selain seni tari Jawa, ada satu unsur tari klasik lain yang disadap oleh BKI, yaitu tari topeng Cirebon yang telah berusia 500 tahun lebih. Tetapi dalam bahasan presentasi webinar internasional Upi Tasik kali, waktu tiga puluh (30) menit yang diberikan, tidak akan sempat membahasnya. Oleh karena itu ulasan hanya yang berkaitan dengan tari Jawa saja.

Berdasarkan pertimbangan nilai klasik dalam tari Jawa dan teori seni tari yang diuraikan di atas, maka tidaklah heran bila para ahli budaya Jawa dan Mr. Wongsonegoro pada tahun 1951 dengan tegas menyebut bahwa: tarian BKI adalah ‘tari semi klasik’. Tarian BKI adalah karya tari bersama dalam wadah BKI, dengan Oemay (sebagai penentu kualitas tarian dan penata kostum) serta Tjetje (sebagai penata tari) dan Kayat ( penata gending). Ketiganya telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam tarian dan kemudian dimatangkan bersama budayawan lainnya yang terhimpun di BKI. Bentuk tarian yang baru itu disebut sebagai tarian wanda anyar.

Sekarang sudah dapat dibuktikan bahwa tarian wanda anyar BKI/Tjetje adalah ‘tari klasik’ karena selain usianya sudah jauh melampaui 50 tahun, juga karena memenuhi kriteria:  ‘mutu teknik tarinya tinggi’ – ‘ada uraian perbendaharaan gerak pada setiap teknik tarinya’ – ‘dan gerak tari itu tidak mudah dikuasai karena membutuhkan waktu latihan yang panjang’ .

Begitu pulalah keadaannya pada tarian BKI/Tjetje. Kesemua unsur yang terdapat pada gerakan kepala hingga kaki tersebut, ternyata dapat saya/Irawati uraikan dengan sangat rinci dan dapat dibukukan dalam buku Teknik Tari Sunda Klasik Puteri, terbitan Pusbitari Press 2013. Berkaitan dengan hal tersebut, maka jelaslah sudah bahwa tari Sunda yang diciptakan oleh Tb. Oemay Martakusuma bersama Rd. Tjetje Somantri sejak 1942, adalah tarian ‘semi klasik’ yang merupakan wanda anyar pada zamannya. Sekarang tarian BKI tersebut telah menjadi Tari Sunda Klasik yang berusia delapan puluh (80) tahun.

Di lain pihak, pada tahun 1990 Jurusan Tari STSI/ASTI/ISBI Bandung tanpa dasar yang jelas, dengan mudahnya memproklamirkan bahwa tarian karya BKI/Tjetje adalah kelompok ‘tari kreasi’. Nama ‘tari kreasi’ sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh Paul Kusardy Polim, pencipta ‘tari kreasi baru nasional modern Viatikara’ yang sangat terkenal di tahun 1961- 1970-an. Dalam karya tarinya, Paul Kusardy betul-betul memasukkan berbagai unsur gerak tari Sunda, Jawa, balet, dan Melayu yang dilebur dalam iringan beragam lagu Indonesia populer yang dimainkan oleh grup Band Togaso, dengan alat musik piano, bas, terompet, drum, suling dan kendang.

Kemudian muncul istilah ‘tari kreasi’ yang baru dari ASKI Solo (?), yaitu untuk mengelompokkan karya mahasiswa yang akan maju ke ujian, yang memasukkan unsur-unsur baru, dan disebut sebagai  karya ‘tari kreasi’. Dengan munculnya istilah ini, segeralah pada tahun 1990 Jurusan Tari STSI mengelompokkan tarian BKI/Tjetje sebagai kelompok ‘tari kreasi’. Sebutan ini adalah pernyataan yang sangat gegabah dan merendahkan karya empu  tari Sunda Oemay, Tjetje dan Kayat, yang sejak 1950 telah berhasil memunculkan dan mensejajarkan kedudukan tari Sunda dengan tari klasik Jawa dan Bali, melalui tari Sunda yang diciptakan/dikreasi sejak 1942 dengan unsur-unsur baru pada empat puluh delapan (48) tahun yang silam.

Patut disayangkan, pengkategorian istilah ‘karya tari Tjetje sebagai tari kreasi’ masih dipakai hingga sekarang dan disebarkan ke seluruh lembaga pendidikan tari formal di seluruh Indonesia, terutama ISBI Bandung, UPI, SMKN 10 Bandung, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Solo, dll.

PROSES PENCIPTAAN

KARYA TARI BKI

Pengaruh tari Jawa dan Cirebon
Bandung Panyipuhan - Siga teh jauh ti enya

TARI SUNDA KLASIK

YANG BERKIBAR

Karya unggulan BKI

Beberapa karya unggulan BKI yang kini masih diajarkan walaupun jarang dipertunjukkan hingga sekarang ialah:

  1. Tari Topeng Menakjingga, 1947/8 (tari putra)
  2. Tari Kendit Birayung 1947/8 (tari putra)
  3. Tari Topeng Koncaran, 1950
  4. Tari Kukupu, 1952
  5. Tari Sulintang, 1952
  6. Tari Rinenggasari – Kandagan, 1958 – 1959
Tari topeng Menak Jingga, oleh Dida Hasanudin tahun 1952.
Tari Kendit Birayung tahun 1947/8
Tari Sulintang 1952
Tari Renggarini 1958
Tari Topeng Koncaran, 1950. Watak Putri Anjasmara – Layang Kumitir – Klana Menakjingga.
Tari Kukupu, 1952. (kiri) desain kostum karya TBO, (kanan) persembahan bagi delegasi KAA 1955.
Kostum tari Kukupu desain Irawati dan dibuat oleh Ibu Kusumah, 1977.
Tari Kandagan, 1959.

PENGEMBANGAN

TARI BKI

Tari Merak

Tari Merak BKI  yang diciptakan BKI khusus untuk menyambut Konf. Asia Afrika pada 1955, penampilannya tidak seberhasil ketika menciptakan tari Kukupu. Tari ini hanya dipentaskan lima (5) kali dalam waktu tiga (3) tahun saja hingga 1958. Penyebabnya ialah karena tarian tersebut tidak menampakkan gambaran sebagai burung merak yang indah dan penuh warna, baik dalam kostum maupun gerak tarinya.

Selanjutnya tari Merak ini disadap dan ditata ulang oleh  Irawati pada tahun 1965 dengan memasukkan unsur tari lain, yaitu tari balet, Bali dan modern dance dalam teknik gerak tarinya. Kostumnya jelas dirombak total dan tampak sangat indah, karena berhasil meniru penampilan burung merak yang indah semirip mungkin.

Gladi Resik pentas untuk Resepsi Konferensi Asia - Afrika 1955
Tari Merak yang ditata ulang oleh Irawati pada tahun 1965.

Perubahan Kostum Merak

Kostum merak Rd. Tjetje Somantri dan Irawati

Tari Kandagan

Selain Tari Merak,  Irawati pun mengembangkan Tari Ratu Graeni dan tari Dewi Serang. Tetapi pengembangan dari tari Kandagan yang berkarakter gagah dan lincah dengan permainan soder (selendang) panjangnya saja yang paling sering dipentaskan, karena menjadi tarian kegemaran Istana Negara di masa Presiden Soeharto.  Itulah sebabnya maka tari Kandagan yang menjadi kesukaan Ibu Tien Soeharto, telah berkembang menjadi beberapa tarian gagah putri seperti: Tari Kandagan Cindelaras, tari Simbar Sakembar, tari Jayengrinengga dan tari Galura (tarian puteri dan putera).

Tari Kandagan Cindelaras
Tari Galura

Namun kini, di masa Presiden Jokowi yang perhatiannya lebih fokus pada bekerja dan bekerja, seolah tidak mempunyai waktu untuk menjamu tamu negaranya dalam suatu resepsi jamuan makan malam dan pertunjukan kesenian kenegaraan yang biasa menampilkan berbagai jenis tari tradisional daerah Indonesia secara bergantian. Acara resepsi kenegaraan seperti ini telah dimulai sejak masa Presiden Soekarno dan dilanjutkan oleh Presiden Soeharto, Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono.

Selain tarian jenis klasik yang ditata oleh Irawati, tentu banyak tari klasik Sunda karya seniman lain yang telah dibuat. Namun semua hanya diajarkan untuk mempertahankan keberadaannya saja, dengan harapan suatu masa akan ada kesempatan untuk menampilkannya kembali.

Masa merebaknya wabah pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun lebih telah memperburuk kondisi hidupnya tari tradisional. Pemerintahan Jokowi telah menyediakan dana abadi yang banyak bagi keberlangsungan hadirnya kesenian tradisional Indonesia yang menjadi jatidiri bangsa. Tetapi bila pemerintah setempat tidak memberikan ruang cukup untuk mempertontonkannya bagi khalayak luas, maka kepunahan tari Sunda klasik tinggal menunggu waktu.