revitalisasi
Tari Klasik Sunda
EMPAT MERCUSUAR
TARI SUNDA ABAD 20
Dalam perjalanan awal tari Sunda, ada empat tokoh utama yang menjadi Mercusuar bagi perkembangan tari Sunda di Jawa Barat sejak awal abad ke 20. Penyebutan Mercusuar atau menara api untuk penerangan kapal-kapal di lautan, ialah merupakan pendapat dan kesan pribadi Penulis saja, karena Penulis sangat berterimakasih dan mengagumi kejeniusan para tokoh tersebut. Bagi Penulis, karya seni temuan keempat Empu tersebut telah merupakan sinar awal yang menyembur dan mengobarkan semangat kreativitas bagi dunia tari Sunda sejak tahun 1920-an. Pancaran keindahan awal dari buah pikir kejeniusan mereka dalam berkarya pun telah hidup seterusnya hingga kini, menyebarkan semangat kreativitas generasi penerus berikutnya sepanjang masa.
Pertama adalah Rd. Sambas Wirakusumah, tokoh yang meletakkan dasar tari laki-laki Sunda (ibing Tayub) berdasarkan pakem (aturan yang dibakukan) yang melahirkan genre baru tari Sunda, yaitu ibing keurseus. Kedua adalah Tb. Oemay Martakusuma, seniman kreatif serba bisa yang berhasil mewujudkan impiannya untuk menghadirkan adanya perempuan yang tampil menari dengan indah dan terhormat. Ketiga adalah Rd. Tjetje Somantri, ahli pencak dan penari luar biasa yang mampu mewujudkan cita-cita dan arahan Tb. Oemay Martakusuma untuk menciptakan tarian baru bagi penari perempuan. Yang ke empat adalah Abah Kayat, ahli berbagai jenis alat karawitan yang mampu menghidupkan lagu sederhan, menjadi sangat indah dan menghidupkan tariannya.
RADEN SAMBAS WIRAKUSUMAH

Tokoh Mercusuar yang pertama adalah Rd. Sambas Wirakusumah (1888 – 1962), putra Lurah Bintang Rancaekek, Rd. Mintapradja Koesoemah. Ia terkenal karena menciptakan genre baru dalam tarian Sunda, yaitu ibing keurseus, suatu tarian yang mampu menertibkan kebiasaan para bangsawan laki-laki yang semula menari sesukanya tanpa pola dengan gaya masing-masing dalam Pesta Tayuban.
Dilahirkan di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Sambas mulai mengembangkan bakat tarinya sejak kecil di bawah bimbingan uwa nya yang bernama Nyi. Rd. Hj. Koesoema Ningroem anak pertama Rd. Wirakoesoemah, yang tidak lain adalah seorang penari di Kabupatian Sumedang. Tidak merasa cukup belajar dari uwa nya, Rd. Sambas kemudian belajar tari patokan kepada Rd. Gandakoesoemah atau Aom Doyot dan mempelajari tari topeng Cirebon dari Wentar seorang dalang topeng asal Palimanan. Rd. Sambas kemudian lebih mengintensifkan, dan memperkaya kembali ragam gerak tari patokan yang telah dipelajari sebelumnya dengan mengembangkan ragam gerak yang ada dalam tari Topeng Cirebon.
Pada tahun 1920, ia mendirikan perkumpulan tari “Wirahma Sari” yang memberi kursus tari patokan kepada para kerabat dan muridnya yang banyak di berbagai kota di Jawa Barat. Hal ini terjadi karena pada masa itu, keterampilan menari telah menjadi tolak ukur kebangsawanan seseorang dan menjadi salah satu syarat bagi yang ingin bekerja di pemerintahan. Kepopuleran tari patokan yang dikursuskan ini melahirkan nama barunya: tari/ibing keurseus.
Karya Tari:
Selain menata beberapa jenis tari keurseus untuk laki-laki seperti Lenyepan, Monggawa, Gawil, Kawitan, Gunung Sari, Kastawa, tari wayang dan wayang wong, Sambas pun menciptakan beberapa tarian untuk perempuan, antara lain tari Sirimpi (1931), tari Gawil wanita, tari Banjarsinom wanita, tari Subakastawa, tari Sekar Gadis, tari Puspa Ligar dan Tari Roromendut (Tari Karawitan, 1925), yang kemudian direkonstruksi oleh Rd. Nugraha Sudiredja menjadi Tari Badaya dan diajarkan kepada Irawati tahun 1981. Rd. Sambas Wirakoeseomah juga membuat tari Perang Wanita diantaranya; tari Perang Panah, Perang Konde, Perang Kebut, dan tari Perang Tumbak/Lelempagan (tumbak yang terbuat dari 4-5 helai bulu ekor merak yang pangkalnya diikat dan diberi pemberat yang dilemparkan atau dilempag). Pada acara Revitalisasi Tari Klasik Sunda sekarang ini, yang disebarkan kepada masyarakat dalam Workshop Tari Sunda Klasik ialah Tari Badaya dan Tari Lenyepan naik Monggawa (tataan Ujang Setiadi dari Rd.Oe. Joesoef Tedjasukmana) yang diajarkan di SMKN 10 (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 10) Bandung.
TUBAGUS OEMAY MARTAKUSUMA

Tokoh Mercusuar kedua adalah Tubagus Oemay Martakusuma. Lahir di Rangkasbitung (1892-1984), ayahnya adalah Asisten Wedana di Maja-Lebak, Banten. Seperti laiknya semua bangsawan di masa itu, Oemay dapat menari tetapi sebagai seorang guru dan Kepala Sekolah Rakyat, ia lebih berperan di bidang sandiwara. Di setiap pesta kenaikan kelas Oemay menyelenggarakan sandiwara, menulis naskah, menyutradarai, membuat dekor hingga kostumnya. Darah seninya semakin tumbuh sejak dia belajar melukis kepada seorang pelukis Belanda.
Setelah pindah ke Bandung, Oemay mendirikan Perkumpulan Sekar Pakuan (1935- 1942), dengan Pelindungnya Bupati Bandung sendiri, R.A.A. Wiranatakusumah V. Selain berbagai jenis kesenian tradisional Sunda seperti seni tari, pencak, sandiwara dll. yang bergabung di dalamnya, Sekar Pakuan pun menjadi rumah bagi perkumpulan pelukis yang kemudian menjadi sangat terkenal, seperti: Affandi, Hendra, Wahdi, dll.
Sejak 1925 Oemay telah mengangankan adanya pertunjukan penari putri Sunda. Baru di masa penjajahan Jepang-lah Oemay mulai merintis cita-citanya, berlanjut di masa pengungsian 1946-1948, hingga setiba kembali di Kota Bandung ia mendirikan BKI (Badan Kesenian Indonesia, 1948) dan diangkat menjadi Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat Kementerian PP&K (1950-1958). Di masa inilah atas dukungan Presiden Soekarno yang mengagumi hasil kerja kerasnya, Oemay sangat produktif dan berhasil menciptakan kehadiran penari puteri Sunda yang memesona, lengkap dengan kostum tari dan riasnya yang mengagumkan. Keberhasilannya ini tidak dapat dipisahkan dari indahnya tari putri karya Rd. Tjetje Somantri dan menyatunya gending pengiring tari karya Kayat yang menghidupkan gerak tari. Di atas itu semua tetaplah Oemay yang menjadi dalang dan pemandu keindahan tari putri Sunda yang dikagumi Indonesia dan dunia, termasuk membuat pola lantainya.
Reaksi penonton dan pejabat atas sajian tari asuhan Oemay pada “Pertunjukan Tiga Daerah, Yogya, Solo, Bandung” tahun 1951, 1953 dan 1957 di Yogya, Jakarta dan Solo, semuanya mengakui keunggulan sajian tari Sunda dari BKI. Tokoh pendidikan Jawa yaitu: Ki Hajar Dewantara, memberi penghargaan pada tari Sunda putri yang usianya masih muda ini, sebagai jenis ‘tari semi klasik’. Setelah menonton Pertunjukan Tiga Daerah 1951, Menteri Pendidikan & Kebudayaan Mr. Wongsonegoro merasa khawatir bahwa seni tari klasik Jawa akan tertinggal dari seni tari Sunda, maka ia perintahkan agar di Kokar (Konservatori Karawitan) Solo dibuka Jurusan Tari.
Karena melihat, mendengar dan mengalami sendiri kiprah Oemay yang luar biasa, sejak tahun 1994 Irawati telah mengusahakan turunnya penghargaan budaya bagi Oemay kepada Pemerintah Indonesia, tetapi tak ada yang peduli. Baru tahun 2004 Oemay menerima Anugerah Budaya dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Ir. Jero Wacik, setelah Irawati mengusulkan dan mengurusnya sendiri. Pada tahun 2018 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat mengusulkan penghargaan untuk Oemay, dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan Nadiem Makarim pun memberi penghargaan Anugerah Budaya kepada Tb. Oemay Martakusuma.
RADEN TJETJE SOMANTRI

Tokoh Mercusuar yang ketiga dan paling menonjol ialah Rd. Tjetje Somantri, empu tari Sunda klasik yang sangat terkenal. Tjetje dihormati karena telah mengubah sejarah seni tari Sunda, dan dia dijuluki sebagai “Tokoh Pembaharu Tari Sunda Klasik” karena karya-karyanya yang merevolusi seni tari Sunda. Tjetje Somantri lahir pada tahun 1891 dan dibesarkan oleh pamannya setelah ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Bakat menarinya yang luar biasa muncul setelah tahun 1911 belajar menari kepada Aom Doyot, penari ibing keurseus yang paling dikagumi pada masa itu. Kehebatan tariannya tersebut rupanya karena ia memadukan unsur tari topeng Cirebon ke dalam gerak tari Tayub-nya.
Langkah guru pertamanya ini membuka cakrawala wawasan dan kemampuannya menari. Pada beberapa konkurs (lomba) Ibing Tayub, Tjetje adalah juaranya. Semenjak 1943 Tb. Oemay Martakusuma memilih Tjetje sebagai pelatih tari karena ia berpendapat: “Tari sudah ada dalam dirinya. Gerak tari apapun yang dilakukannya, tampak sangat bagus dan menarik”.
Tjetje belajar berbagai jenis tari, mulai dari Tayub, topeng Cirebon, dan bertanya kepada beberapa ahli tari klasik Jawa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila karya tarinya beragam dan bernuansa tarian yang dipelajarinya. Ide untuk membuat tarian apapun yang ada dalam benak Oemay, dapat Tjetje wujudkan dengan indah mengikuti kemajuan zaman. Pesona berbagai jenis gerak tarinya, diperkuat oleh keindahan kostum tari karya Oemay, serta keserasian komposisi baru musik gamelan karya Kayat yang menguatkan ekspresi tarian.
Ketika ia masih muda, semua orang yang menonton Tjetje menari, sangat terpesona oleh gerakan tubuhya yang mantap dengan ekspresi wajah yang mempesona. Bila dia menari banyaklah orang yang “nyawer” menebarkan uang logam atau kertas, memenuhi arena menarinya sebagai rasa kekaguman dan apresiasi para penonton. Pengalaman mengajar Tjetje diawali ketika ia mengajarkan Ibing Patokan/tari Keurseus di sekolah menak sejak tahun 1920-an dan di Kabupaten Bandung ketika mengajar tari kepada putri-putri bangsawan (1937-1942). Sebelum menjadi pengajar tari di Badan Kesenian Indonesia (BKI), Tjetje mengajar pencak silat di Perkumpulan Sekar Pakuan (1935-1942). Selanjutnya pada zaman Jepang, Tjetje mulai bekerjasama dengan Oemay sebagai pelatih tari hingga di BKI (1948-1958), ketika Oemay diangkat menjadi Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat. Setelah Oemay pensiun tahun 1958, Tjetje tetap melanjutkan pengajaran tari kepada murid-muridnya dengan nama Perkumpulan Tari Rinenggasari/ Perkumpulan Tari Tjetje Somantri.
Pada tahun 1955, Menteri Kebudayaan Mr. Wongsonegoro memerintahkan agar di Kokar Solo dibuka ‘cabang tari’ karena melihat kemajuan yang dicapai oleh tari Sunda dari BKI yang dipertunjukan pada Malam Kesenian Tiga Daerah. Sejak tahun 1956 Tjetje menjadi pengajar tari Sunda di Konservatori Solo beserta Kayat (ahli karawitan Sunda).
Pada tanggal 1 Oktober 1958, Kokar Bandung didirikan dengan memindahkan Jurusan Sunda dari Kokar Surakarta ke Bandung. Di situ Rd. Tjetje Somantri menjadi pengajar tari sejak 1961 hingga wafat 1963.
Di dalam wadah BKI, kerjasama Oemay dan Tjetje dilengkapi kehadiran Kayat sebagai ahli gamelan yang menghidupkan tarian, telah membuat tari Sunda berkibar tinggi di tanah air. Pada tahun 1961, Presiden Soekarno menganugerahi Tjetje “Piagam Wijaya Kusumah” sebagai pengakuan atas pencapaian dan kontribusinya terhadap tari Sunda klasik. Pada tahun 2004, Tjetje pun menerima “Anugerah Budaya” berupa tropi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Jero Wacik. Kemudian, untuk menghargai jasa-jasanya tersebut, generasi berikutnya memberi Tjetje julukan sebagai “Tokoh Pembaharu Tari Sunda”. Menurut Irawati, julukan yang lebih tepat untuk Tjetje adalah “Tokoh Pencipta Tari Sunda Putri”.
Karya Tari:
Karya tari Rd. Tjetje Somantri yang diajarkan kepada murid-muridnya di BKI berjumlah 38 tarian, terdiri dari 10 tarian untuk laki-laki dan 28 tarian untuk perempuan. Irawati yang menjadi muridnya sejak 1956 hingga 1963, mempelajari 23 tarian dan tarian yang masih dikuasai saat ini berjumlah 14 tarian. Beberapa tarian Tjetje yang hidup di masyarakat sekarang ini adalah: Tari Sekar Putri, Tari Sulintang, Tari Sri Gati, Tari Sekar Arum, Tari Puja, Tari Kukupu, Tari Ratu Graeni, Tari Kandagan, Tari Topeng Koncaran.
Pada acara Revitalisasi Tari Klasik Sunda sekarang ini, karya Tjetje yang disebarkan kepada masyarakat dalam Workshop Tari Sunda Klasik, ialah: Tari Sulintang (panjang/lengkap dan pendek), Tari Kukupu dan Tari Kandagan.
KAYAT

Kayat adalah tokoh mercusuar yang keempat. Nama aslinya adalah Soma. Kayat adalah nama pemberian dari Mama Kayat (atau Dalang Bintang, dalang yang mendapat bintang penghargaan, karena Soma adalah murid kekasihnya. Semangat belajar Kayat sangat tinggi sehingga ia menjadi seorang ahli tabuh gamelan yang sangat terampil memainkan berbagai alat musik Sunda dan Cirebon, serta sarat dengan berbagai ilmu dan pengetahuan dari gurunya yang banyak. Ia pun seorang dalang wayang, penari, selain menjadi pemain dan pengasuh Wayang Wong yang mumpuni.
Di Bandung sejak 1933 Kayat telah menjadi penabuh andalan para menak, termasuk menjadi pengendang khusus Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V, dan ia pun menjadi pegawai Kabupaten Bandung. Tb. Oemay Martakusumah pun mengandalkan kepiawaian Kayat di perkumpulan tari yang diasuhnya sejak Sekar Pakuan hingga BKI.
Kayat adalah sahabat dan teman berdikusi Tjetje ketika mewujudkan suatu tarian. Kepiawaian dan kreativitas Kayat melahirkan cara menabuh gamelan yang berbeda, sehingga menyatu dengan makna gerak tarinya dan membuat tarian lebih hidup. Keindahan gerak tarian tersebut diisinya dengan nafas gending baru yang ditabuh seolah bersahutan, hingga menghidupkan tarian. Salah satu murid Kayat yang kemudian menjadi guru dan pengarang lagu di Kokar Bandung, Nano Suratno, mengatakan bahwa keterampilan Kayat tersebut, seolah membuat alat-alat gamelan itu ‘baceo’ mengobrol, bicara, bersahutan antar mereka. Inovasi cara menabuh yang baru ini, kemudian mengilhami generasi penabuh lainnya dalam berkarya, antara lain Koko Koswara dengan gending pengiring lagu-lagu ciptaan Wanda Anyarnya, dan Aim Abdurochim yang sangat terampil menciptakan gending tarian Wanda Anyar yang lebih hidup, antara lain gending tarian Irawati tahun 1984.
Karya Gending:
Karya gending Kayat tentu sangat banyak, sesuai dengan perjalanan keseniannya melayani kebutuhan pemanggunan tari dan karya tari para seniman bangsawan, seperti Tari Wayang, Tari Serimpi, gending karesmen, sendratari, dan tentu saja semua gending tarian dan sandiwara yang diasuh oleh Oemay.
Salah satu kepiawaian Kayat yang luar biasa, ialah ketika ia diminta untuk mengisi musik suatu pentas teater barat (hamlet? dari Studi Klub Teater Bandung yang dilaksanakannya dengan baik dan mengagumkan.