tari klasik sunda
Pernahkah Anda membayangkan betapa kayanya warisan tari klasik Sunda? Gerakan-gerakan anggun, iringan musik yang menenangkan, dan makna mendalam yang terkandung di dalamnya, semuanya terancam hilang jika kita tidak segera bertindak.
Pergelaran Rineka Cipta Ibing Sunda bukan hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga sebuah upaya untuk menghidupkan kembali ekosistem
pembelajaran tari klasik Sunda. Kami berharap setiap tarian yang disajikan dapat menginspirasi generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan warisan budaya leluhur kita.
rineka cipta ibing sunda
mencerminkan kekayaan Tari Sunda, dengan menampilkan beragam repertoar mulai dari Tari Klasik dan Kreasi Baru.
01-tari Badaya
Di masa lalu Tari Klasik Sunda hidup di lingkungan masyarakat feodal sebagai bagian dari prestise status kebangsawanan seseorang. Pada awal abad ke-20, tari ini mulai mengalami pembakuan dan pengembangan, terutama berkat kontribusi Lurah Rancaekek Rd. Sambas Wirakoesoemah yang menciptakan tari Keurseus. Melalui berbagai inovasi dan adaptasi, tari ini terus berkembang hingga menjadi tari Badaya.
Rd. Noegraha Soediredja, murid Rd. Sambas Wirakoesoemah, mengembangkan Tari Badaya lebih lanjut dan mengajarkannya di perkumpulan tari ‘Wirahma Sari Sunda’. Pada tahun 1981, Irawati mengundang Rd. Noegraha untuk mengajarkan Tari Badaya secara langsung. Berdasarkan foto tari Sirimpi Wirahmasari dari majalah Parahiangan tahun 1930-an, Irawati kemudian merekonstruksi kostum Tari Badaya Wirahmasari.
Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek merupakan tarian putri lungguh yang disajikan untuk penyambutan tamu agung di kalangan menak/ bangsawan pada masa pemerintahan saat itu.
Penari: Irawati Durban, Debby, Dini, Dyah, Gita, Sharfina, Utamy
02-tari kawit
Belajar tari, bukan hanya belajar gerak semata, tetapi belajar gerak yang terkendali. Pada tahun 1990, Irawati menata sebuah gerak tari yang sederhana, dengan susunan gerak dasar bagi pemula yang diiringi musik gamelan. Kawit yang berarti dasar, dengan geraknya yang sederhana, menjadi dasar yang kokoh supaya ketika mempelajari tarian berikutnya, para penari pemula dapat menari dengan baik.
Penari: Fathrika, Gendis, Khanza, Lulu, Raina, Shalika, Talita
03-tari hayu batur
Persahabatan adalah ikatan istimewa yang mewarnai kehidupan kita. Ungkapan sederhana “Hayu Batur” yang sering kita dengar di antara sahabat, lebih dari sekadar ajakan bermain.
Di balik dua kata itu tersimpan dunia penuh makna: kegembiraan saat berbagi cerita, dukungan saat menghadapi kesulitan, dan kenyamanan saat merasa sendiri.
Sahabat adalah keluarga yang kita pilih sendiri, tempat kita bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu khawatir dihakimi.
Penari: Diah, Roro, Yuli, Bibin, Kusna, Parhan
04-tari babarisan
Pasukan keil berbaris dengan gagah. Mereka berlatih ketangkasan dengan sigap dan cekatan yang memacu jiwa kepahlawanan untuk siap membela tanah air. Tari bukan hanya belajar teknis gerak semata, namun ada proses penanaman perilaku pada keindahan.
Penari: Andri, Fajar, Faro, Pepe, Reifaldi, William
05-tari blantek
Dengan gerakan yang lembut dan anggun, Tari Blantek melukiskan keindahan perempuan Betawi yang ramah dan rendah hati. Nama “Blantek” yang unik diambil dari kata “Blantahan” yang mengacu pada sifat tarian yang dinamis dan penuh improvisasi. Ada juga yang mengaitkannya dengan suara alat musik pengiringnya yang berbunyi “blang-blang, tek-tek”, menciptakan irama yang khas dan meriah.
Penari: Gendis, Latu, Meidina, Raina, Talita
06-tari kukupu
Delapan gadis cantik dengan kostum dan sayap kupu-kupu yang indah berwarna cerah dan dapat dibuka-ditutup, terbang berseliweran menggambarkan siklus kehidupan Sang Kupu-Kupu. Mereka menari di hadapan para Delegasi Konperensi Asia Afrika 1955 yang memandang dengan penuh kekaguman. Semenjak itu Tari Kukupu pun menjadi kesayangan Presiden Soekarno untuk disajikan kepada para tamunya di Istana Negara Jakarta, dan kemudian menjadi tarian Ikon Jawa Barat hingga tahun 1970-an.
Tari Kukupu adalah tarian produk Badan Kesenian Indonesia tahun 1952 yang merupakan hasil jerih-payah Tb. Oemay Martakusumah yang sudah lama ingin ‘membaletkan tari Sunda’. Ia membuat kostum tari ini sepenuh hati, dan menggambari sayap kupu-kupunya serta mengatur pola lantainya. Penampilan tarian ini sangat menyihir para penontonnya yang sebelumnya tidak pernah melihat perempuan Sunda menari di panggung, karena adat kebiasaan yang dianut di masa feodal melarangnya: adalah suatu aib bila perempuan baik-baik menari di depan umum.
Penari: Dyah, Hanifa, Myiesha, Sharfina
07-tari sulintang
Di awal kemerdekaan tahun 1950, Indonesia banyak dikunjungi oleh tamu dari berbagai negara sahabat yang juga kemudian mengirimkan pula misi keseniannya. Kondisi ini menyadarkan bangsa Indonesia atas keberadaannya sebagai bagian dari keberagaman budaya di dunia, dan juga bangga atas semangat persatuannya sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.
Suasana ‘merdeka’ dan ‘persatuan’ tersebut menumbuhkan keinginan Tb. Oemay Martakusuma, (Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat), untuk mendorong Rd. Tjetje Somantri menyusun tarian yang menggambarkan semangat zamannya. Demikianlah Tari Sulintang lahir sebagai perpaduan dari gerak tari Birma, India, Bali, Jawa, dan Sunda yang di bawa ke alam Priangan, dan Oemay menyebutnya sebagai ‘tari paduan sari’.
Penari: Anggraeni, Dini, Utamy
08-tari puspaligar
Bayangkanlah bunga-bunga indah yang sedang merekah di taman, demikian pula para penari muda yang begitu lincah dan penuh sukacita.
Tari Puspaligar, karya Irawati, merupakan sebuah gambaran indah tentang kegembiraan dan kelincahan remaja putri. Melalui gerakan-gerakan yang anggun, tarian ini menggambarkan keindahan persahabatan dan semangat muda yang penuh sukacita.
Penari: Andini, Awlida, Debby, Gita, Putri, Yuai
09-tari topeng slangit
Wilayah Cirebon dan sekitarnya, termasuk Indramayu, Subang, dan Majalengka, merupakan rumah bagi kesenian tari topeng yang kaya. Desa Slangit, salah satu desa di wilayah tersebut, terkenal akan tradisi tari topengnya yang dilestarikan oleh keluarga Dalang Topeng Arja seperti Suparta, Sujaya, Sujana, dan Keni Arja.
Pertunjukan tari topeng di Slangit biasanya menampilkan lima tokoh utama yang mewakili berbagai fase kehidupan manusia, mulai dari masa muda hingga usia tua, yang dilambangkan oleh tokoh Panji, Pamindo, Rumyang, dan Klana.
Penari: Kustiana
010-tari narantika rarangganis
Sekitar tahun 1979 Gubernur Jawa Barat yakni Aang Kunaefi meminta kepada Rd. Enoch Atmadibrata dan Rd. Nugraha Soediredja agar dibuatkan suatu karya tari untuk acara HUT Konferensi Asia-Afrika ke-30. Atas kepercayaan tersebut, maka Rd. Nugraha menciptakan tari putra kelompok yang bersumber dari Tari Monggawa, tetapi setelah dilihat oleh Pak Aang Kunaefi, beliau merasa tidak cocok dengan tariannya yang statis. Maka pada saat itu Pak Aang menjelaskan bahwa ia menginginkan adanya suatu Tari penyambutan dalam bentuk Helaran yang bersumber dari Tari Klasik Sunda, bukan dari Tari Rakyat seperti tari Helaran pada umumnya. Berdasarkan hal tersebut, Rd. Nugraha membuat kembali tarian lain yakni Tari Narantika Rarangganis, sedangkan tari kelompok putra yang sebelumnya sudah diciptakan kemudian diberi nama Tari Puragabaya.
Dalam proses penciptaannya, Tari Narantika dibuat lebih dahulu oleh Rd. Nugraha dengan mengambil sumber gerak dari Tari Monggawa dalam Tari Keurseus, sedangkan Tari Rarangganis dibuat oleh Rd. Nugraha, serta dibantu Irawati Durban dan Indrawati Lukman dengan mengambil sumber gerak dari Tari Kandagan. Ciri khas dari tarian ini ialah disatukannya dua tarian berbeda dalam lagu yang sama.
Setelah tarian ini selesai dibuat kemudian diajarkan kepada para penari yang akan mengisi acara HUT KAA ke 30 tahun 1980. Penarinya berasal dari berbagai institusi dan sanggar tari di Kota Bandung. Berdasarkan hal tersebut maka Group tersebut dinamai dengan nama Paguyuban Tari Galih Pakuan. Para penari menari di sepanjang jalan Asia-Afrika, mulai dari alun-alun, membuat konfigurasi di depan Gedung Merdeka (dihadapan para tamu), dan berakhir di Jalan Lengkong Besar
Penari: Alifa, Anggra, Hanifa, Bibin, Kusna, Parhan